Rabu, 29 Februari 2012

Ambon Hari Ini

Ambon hari ini,
Tak seperti yang beta kenal.
Ambon hari ini,
Sudah banyak yang berubah.

Spasi besar itu terus menggerus halus
Satu rumah menjadi dua.
Dimana sumpah darah?
Marahlah kami datuk-datuk!

Dua kami tak mau jadi satu
Satu kami terus jadi dua
Percayalah!
Itu ulah mereka.

Bagaimana ini terus berlanjut?
Sang Penguasa, dengarlah doa kami!
Kami ingin satu,
Bukan dua yang membedakan kami.


Puisi diatas merupakan luapan emosi yang dilontarkan kepada situasi Ambon saat ini, dimana puisi ini berisi rasa kekecewaan dan harapan terhadap keadaan kota ini yang terus menghilangkan hubungan kekerabatan (Pela-Gandong) dari hasil kesalahpahaman masyarakat dua komunitas besar penghuni tempat tercinta ini. Mungkin karena paham metropolisme yang benubuat hingga masyarakat di dalamnya mulai mementingkan kepentingan pribadi dan golongan bukan lagi kemajemukan yang diutamakan.
                Ambon hari ini, tak seperti yang beta kenal. Ambon hari ini, sudah banyak yang berubah,” penggalan di bait pertama ini bermakna luapan emosi terhadap situasi kota ini yang terus berubah dimana krisis kepercayaan, ketenangan hati, dan potensi konflik menjadi makanan sehari-hari bagi kami masyarakat Ambon. Menginginkan damai namun orang  ketiga masih menunjukan eksistensinya dalam bentuk menyebarkan isu-isu negatif yang bertujuan memprovokasikan masyarakat untuk mengulang kembali kenangan buruk itu.
                Bait kedua, ” Spasi besar itu terus menggerus halus, satu rumah menjadi dua. Dimana sumpah darah? Marahlah kami datuk-datuk!”  Barisan syair ini memiliki makna keberadaan sebuah spasi pemisah antara dua komunitas tanah ini, spasi itu memisahkan kesatuan kekerabatan persaudaraan yang telah dibangun sejak dulu kala. Spasi tersebut merupakan cerminan dari keberadaan orang ketiga, yang menduakan kesatuan persaudaraan hingga hampir tak lagi menjadi satu. Padahal persaudaraan tersebut dibangun dengan mengikrarkan sebuah sumpah untuk saling menjaga dalam segala hal yang disimbolkan dengan meminum darah (hanya untuk beberapa negeri adat) maupun dengan cara lainnya yang dimaksudkan untuk mengikat persaudaraan tersebut menjadi satu. Andaikan para datuk masih hidup pasti mereka telah menangis sekaligus marah melihat hal ini, padahal yang mereka harapkan adalah kesejahteraan di tanah ini, namun apa yang terjadi? Lagi-lagi orang ketiga yang mencoba untuk menghancurkan budaya manis ini.
                “Dua kami tak mau jadi satu, satu kami terus jadi dua. Percayalah! Itu ulah mereka.”  Sekali lagi bait ini menceritakan mengenai spasi pemisah (separator space) yang dibuat oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab (orang ketiga). Mereka melakukan kejahatannya dengan menyebar isu-isu negatif kedalam kehidupan bermasyarakat dua komunitas besar  tanah ini. Orang-orang seperti ini adalah mereka yang tidak mengenal agama (atheis), dimana mereka hanya hidup dalam hal-hal duniawi yang mementingkan kesenangan diri sendiri tanpa melihat efeknya pada masyarakat luas, karena atheis menghalalkan segala bentuk kejahatan bagi mereka yang memeluknya, dan seperti itulah kehidupan orang ketiga di tanah ini.
                Pada bait terakhir puisi ini, hal yang ingin disampaikan adalah harapan untuk kota tercinta yang telah memberikan limpahan air, hasil alam, dan udara untuk kehidupan kita bersama. Bait tersebut berbunyi; “Bagaimana ini terus berlanjut?  Sang Penguasa,  dengarlah doa kami! Kami ingin satu, bukan dua yang membedakan kami.”  Ini berarti, hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa (TYME) kita dapat berharap mengenai kelanjutan kehidupan di tanah ini tentang persaudaraan kita yang diinginkan untuk terus  menjadi satu dan takkan terpisah untuk selamanya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa (TYME) mendengar doa kita bersama, Amin! Terima kasih.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar